STUDI FENOMENOLOGI

Istilah ‘fenomenologi’ digunakan begitu luas dalam studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora dan maknanya, sebagaimana diakui Patton (1990: 68), seringkali membingungkan, setidaknya karena tiga alasan. Pertama, kadang-kadang istilah ‘fenomenologi digunakan sebagai sebuah paradigma yang menjadi payung penelitian kualitatif , disepadankan dengan paradigma interpretif, atau naturalistik. Disebut ‘naturalistik’ karena perolehan data dilakukan dengan latar alami. Kedua, sebagai sebuah perspektif teoretik, dan ketiga sering juga digunakan sebagai nama salah satu jenis penelitian kualitatif atau sebuah metode mencari kebenaran ilmiah. Sajian ini khusus membahas ‘fenomenologi’ sebagai metode penelitian. 

Peneliti fenomenologis berusaha untuk memahami makna peristiwa atau
gejala serta interaksi pada orang atau sekelompok orang dalam situasi tertentu.
Karena fenomenologi berada di bawah payung paradigma interpretif, maka
pendekatan ini menghendaki adanya sejumlah asumsi yang berlainan dengan
cara yang digunakan paradigma positivistik yakni dengan menemukan “fakta”
atau “penyebab” suatu peristiwa.

Sebelum melangkah lebih jauh ke makna fenomenologi, penting untuk
diketahui para tokoh di balik kelahiran fenomenologi. Sebagai tradisi filsafat,
awalnya fenomenologi digunakan oleh filsuf Jerman Edmund H. Husserl (1859-
1938). Dilanjutkan oleh Alfred Schutz (1899-1959) dengan tegas
mengembangkan fenomenologi sebagai perspektif penting dalam studi-studi
ilmu-ilmu sosial dan filsafat. Nama-nama seperti Merleau-Ponty (1962),
Whitehead (1958), Giorgi (1971), dan Zaner (1970) adalah para tokoh yang
sangat berpengaruh dalam meletakkan dasar fenomenologi sebagai sebuah
aliran pemikiran yang mewarnai perjalanan dan perkembangan studi-studi ilmu
sosial dan humaniora. Belakangan fenomenologi juga sangat berpengaruh
dalam pengembangan ilmu psikoterapi.  

Menurut Husserl fenomenologi ialah studi tentang bagaimana orang
mendeskrispikan sesuatu dan mengalaminya melalui indra mereka sendiri.
Dengan kata lain, fenomenologi Husserl merupakan sebuah upaya memahami
kesadaran sebagaimana dialami dari sudut pandang orang yang mengalami
sendiri. Asumsi filosofisnya yang mendasar ialah ‘kita dapat mengetahui apa
yang kita alami hanya dengan adanya kesadaran dan makna yang
membangkitkan kita.  

Selain memandang tidak ada peristiwa sekecil apapun yang tidak
bermakna, fenomenologi mengansumsikan sebuah peristiwa tidak pernah
berdiri sendiri. Itu sebabnya peneliti fenomenologi dituntut untuk mencari akar -
akar masalah secara mendalam dari setiap gejala atau peristiwa yang diteliti
dengan melihat secara seksama semua tindakan, ucapan, tulisan, gambar,
informasi, gerak isyarat subjek dan konteks kejadian peristiwa. Semua itu
mengandung makna. Karena itu, menurut Arifin (dalam Arifin, 1996 :49)
menghilangkan atau mengabaikan semua itu bagi peneliti fenomenologi berarti
kehilangan makna penting. Fenomenologi memungkinkan akal budi kita
mengerti keanekaragaman peristiwa dalam ranah harmonitas dan rivalitas yang
penuh makna.  

Fenomenologi Heidegger3 merupakan sebuah usaha transformasi fenomenologi Edmund Husserl berdasarkan pemikiran teoretis dan kebutuhan praktis pada zamannya. Heidegger mengakui bahwa ada pengaruh kental Husserl dalam fenomenologinya, meski ia sendiri mengeritik nuansa idealisme yang melingkupi fenomenologi Husserl. Heidegger menyadari bahwa persoalan kesadaran adalah masalah yang sangat mendasar, karena pemahaman tentang esensi kesadaran dan aktivitasnya bisa dijadikan sebagai solusi guna menghadapi krisis ilmu pengetahuan, misalnya menggunakan pemahaman tentang esensi dan aktivitas kesadaran sebagai landasan teori-teori ilmiah tentang manusia. Dengan demikian, ilmu pengetahuan tentang manusia akan memperoleh landasan kokoh bila asumsi-asumsi ontologis dan epistemologisnya didasarkan di atas pengetahuan esensi kesadaran dan aktivitasaktivitasnya secara fenomenologis (Adian, 2010: 49-50).   

Dalam karyanya yang berjudul The Phenomenology of the Social World, Schutz tertarik menggabungkan pandanganpandangan fenomenologi dengan sosiologi melalui kritik sosiologis atas karya Weber. Dia mengatakan bahwa reduksi fenomenologis, pengesampingan pengetahuan kita tentang dunia, meninggalkan kita dengan apa yang ia sebut sebagai suatu “arus pengalaman” (stream of experience). Sebutan fenomenologis berarti studi tentang cara di mana fenomena muncul kepada kita, dan cara yang paling mendasar dari pemunculannya adalah sebagai suatu aliran pengalaman-pengalaman indrawi yang berkesinambungan yang kita terima melalui pancaindra kita (Craib, 1986: 128).

Karya terpenting Schutz berbicara tentang “waktu” yang dijadikannya sebagai isu sentral. Seperti Husserl dan Bergson, dia membedakan tentang pengalaman batiniah kita tentang waktu (duree) dan waktu objektif atau kosmik. Pembedaan itu dia maksudkan untuk batu loncatan analisisnya tentang “struktur waktu yang ada pada self”. Meminjam konsep Mead, dia mengadopsi pembedaan pragmatis antara I dan me sebagai fase-fase self dalam interaksi sosial. Momentum dari tindakan I (aku) adalah satu langkah yang tidak pasti untuk memasuki masa depan, sedangkan momentum dari refleksi me, adalah penilaian self tentang tindakan-tindakan sendiri (Flaherty, 2012: 373).

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI EVOLUSI DARWIN VS LAMARCK

Elektrolisis Larutan Kalium Iodida

Teori Evolusi Darwin Lengkap dan teori penciptaan khusus