Perkembangan Filsafat
Apakah filsafat itu? Untuk menjawab pertanyaan seperti itu tidak semudah yang diduga, karena filsafat bukanlah sesuatu yang dapat digambarkan secara jelas, utuh, dan memuaskan, sehingga menjadi suatu hal yang sangat sulit. Namun sesulit apapun untuk menjelaskan arti filsafat, harus dibuat suatu definisi sebagai pegangan.
Para ahli telah banyak mengemukakan definisi atau pengertian tentang filsafat dan Filsafat Ilmu dengan sudut pandangnya masing-masing. Setiap sudut pandang tersebut sangat penting untuk pemahaman yang komprehensif. Berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi Filsafat Ilmu menurut pendapat para ahli.
1. The philosophy of science is a part of philosophy which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole of human experience (Peter Caws, 1999).
2. The philosophy of science attemt, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry-observational procedures, patterns of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presupposition, and so on, and then to evaluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology anf metaphysics (Steven R. Toulmin, 1972).
3. Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole (L. White Beck, 1960).
Pengertian-pengertian di atas menggambarkan variasi pandangan beberapa ahli tentang makna Filsafat Ilmu. Peter Caws (1999) memberikan makna Filsafat Ilmu sebagai bagian dari filsafat yang kegiatannya menelaah ilmu dalam konteks keseluruhan pengalaman manusia, dan Steven R. Toulmin (1972) memaknai Filsafat Ilmu sebagai suatu disiplin yang diarahkan untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan prosedur penelitian ilmiah, penentuan argumen, dan anggapan[1]anggapan metafisik guna menilai dasar-dasar validitas ilmu dari sudut pandang logika formal, dan metodologi praktis serta metafisika.
Sementara itu L. White Beck (1960) lebih melihat Filsafat Ilmu sebagai kajian dan evaluasi terhadap metode ilmiah untuk dapat dipahami makna ilmu itu sendiri secara keseluruhan. Menurut The Liang Gie (2010), Filsafat Ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan manusia. Pengertian ini sangat umum dan cakupannya luas, hal yang penting untuk dipahami bahwa Filsafat Ilmu itu merupakan telaah kefilsafatan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, dan bukan kajian di dalam struktur ilmu itu sendiri.
Secara umum dapat dikatakan bahwa sejak Perang Dunia kedua, yang telah menghancurkan kehidupan manusia, para ilmuwan semakin menyadari bahwa perkembangan ilmu dan pencapaiannya juga telah mengakibatkan berbagai penderitaan manusia. Hal ini tidak terlepas dari pengembangan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) yang tidak dilandasi oleh nilai-nilai moral serta komitmen etis dan agamis terhadap nasib umat manusia. Padahal Albert Einstein pada tahun 1938 dalam pesannya pada mahasiswa California Institute of Technology mengatakan bahwa: “Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan perhatian pada masalah besar yang tak kunjung terpecahkan dari pengaturan kerja dan pemerataan benda, agar buah ciptaan dari pemikiran kita akan merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan” (Jujun S Suriasumantri, 1999: 249).
Akan tetapi penjatuhan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 menunjukkan bahwa perkembangan IPTEK telah mengakibatkan kesengsaraan manusia. Meskipun disadari bahwa tidak semua hasil pencapaian IPTEK demikian, namun peristiwa itu telah mencoreng ilmu dan menyimpang dari pesan Albert Einstein, sehingga telah menimbulkan keprihatinan filosof tentang arah kemajuan peradaban manusia sebagai akibat perkembangan IPTEK.
Untuk itu para filosof dan ilmuan perlu merenungi apa yang dikemukakan Harold H Titus (1959) dalam bukunya Living Issues in Pilosophy. Beliau mengutip beberapa pendapat cendekiawan seperti Northrop yang mengatakan: “it would seem that the more civilized we become, the more incapable of maintaining civilization we are”. Demikian juga pernyataan Lewis Mumford bahwa: “the invisible breakdown in our civiliozation: erosion of value, the dissipation of human purpose, the denial of any dictinction between good and bad, right or wrong, the reversion to sub human conduct” (Harold H. Titus, 1959:3).
Ungkapan tersebut di atas hanya untuk menunjukkan bahwa memasuki dasawarsa 1960an kecenderungan mempertanyakan manfaat ilmu menjadi hal yang penting, sehingga pada periode ini (1960-1970) dimensi aksiologis menjadi perhatian para filosof. Hal ini tidak lain untuk meniupkan ruh etis dan agamis pada ilmu, agar pemanfaatannya dapat menjadi berkah bagi manusia dan kemanusiaan, sehingga telaah pada fakta empiris berkembang ke pencarian makna dibaliknya atau seperti yang dikemukakan oleh Ismaun (2000:131) dari telaah positivistik ke telaah meta-science yang dimulai sejak tahun 1965.
Memasuki tahun 1970-an, pencarian makna ilmu mulai berkembang khususnya di kalangan pemikir muslim. Bahkan pada dasawarsa ini lahir gerakan Islamisasi Ilmu, yang tidak terlepas dari sikap apologetik umat islam terhadap kemajuan barat. Terlebih lagi munculnya ide untuk melakukan sekularisasi, seperti yang dilontarkan oleh Nurcholis Majid pada tahun 1974, yang kemudian banyak mendapat reaksi keras dari pemikir-pemikir Islam seperti dari M Rasyidi dan Endang Saifudin Anshori. Mulai awal tahun 1980-an, makin banyak karya cendekiawan muslim yang berbicara tentang integrasi ilmu dan agama atau Islamisasi Ilmu. Hal ini terlihat dari berbagai karya mereka yang mencakup variasi ilmu, seperti karya Ilyas Ba Yunus (1993) tentang Sosiologi Islam, karya-karya di bidang ekonomi seperti karya Syed Haider Naqvi (2003): Etika dan Ilmu Ekonomi, karya Umar Chapra: Al Qur’an, Menuju Sistem Moneter yang Adil, dan karya-karya lainnya.
Pada intinya semua itu merupakan upaya para penulisnya untuk memberikan landasan nilai Islam bagi ilmu-ilmu tersebut. Memasuki tahun 1990-an, khususnya di Indonesia, perbincangan filsafat diramaikan dengan munculnya wacana posmodernisme. Posmodernisme merupakan suatu kritik terhadap modernisme yang berbasis positivisme yang sering mengklaim universalitas ilmu. Selain itu juga berkembangnya diskursus posmodernisme dalam kajian-kajian agama.
Sumber: DIMENSI FILSAFAT ILMU DALAM DISKURSUS INTEGRASI ILMU by Dr. Saifullah Idris, S. Ag., M. Ag. Dr. Fuad Ramly, M. Hum.
Komentar